Bulu Baji adalah ungkapan (idiom) khas Minangkabau. Ungkapan ini merupakan gabungan kata yang membentuk arti baru dan tidak dapat ditafsirkan begitu saja sesuai kata dasarnya. Ungkapan ini dibentuk oleh kata bulu dan baji.
Kata bulu mungkin tak perlu diterangkan lagi. Ada bulu ayam, bulu domba, bulu kaki, bulu mata, bulu angsa dan bulu-bulu lainnya. Sikap orang terhadap bulu macam-macam. Ada yang suka dan ada yang alergi. Yang paling menyedihkan yaitu takut (phobia) kepada bulu, namanya pterophobia.
Baji adalah alat bantu kerja para tukang kayu. Bentuknya sederhana, berupa potongan kayu yang diruncingkan atau dipipihkan pada bagian ujungnya. Bagian yang tipis inilah nantinya diselipkan pada bagian kayu yang akan dibelah. Jadi gunanya untuk membelah kayu, bukan untuk memotong. Pada bagian kepala baji akan berserpihan, berbulu apabila dipukul. Serpihan yang membuat orang geli dan gelinggaman. Bahkan menurut orang kesehatan, takut (phobia) pada serpihan ini ada pula nama penyakitnya.
Kedua kata ini bila disandingkan akhirnya membentuk makna baru. Bulu Baji. Maknanya menunjukkan sifat dan segala bentuk perangai atau kurenah yang melekat dengan sifat tersebut. Celakanya, maknanya justru negatif. Terkait dengan sifat tercela besertaan dengan kurenah buruk yang menjadi ciri-cirinya.
Bulu Baji!, sungguh sebuah kosa kata archaic, kuno yang nyaris musnah ditelan zaman. Meski kata itu nyaris hilang, dapat dipastikan sifat-sifat yang identik dengan kosa kata itu masih ada dan tersedia sepanjang masa.
Sekali waktu, saya pernah mendiskusikan idiom ini dengan mahasiswa. Sekadar untuk memeriksa sisa-sisa pengetahuan generasi milenial tentang khazanah Minangkabau ini. Sekadar ice breaking dan ganti tone suasana kelas yang mulai sayup.
Berikut reportase telat (late reported delay) diskusi tema ba-bulubaji ini dari ruang kelas yang bersuhu hangat-hangat susu.
Bulu Baji dan perangainya
Mengawali diskusi, bertanyalah seorang mahasiswa. Apa arti kata Babulu Baji itu. Untuk mencari jawaban, saya lemparkan pertanyaan ini kepada mahasiswa yang lain sekadar screening jejak memori kolektif mereka tentang makna dan penggunaan idiom ini.
Usaha ini tidak sia-sia. Pada awalnya, hanya satu orang saja yang mengenal istilah ini dengan baik. Namun, mahasiswa yang lain meski tak bisa menjelaskan per-definitif istilah ini, namun beberapa sifat yang melekat dengan istilah ini masih dapat diidentifikasi.
Berikut beberapa sifat-sifat yang berhasil dikemukakan oleh para mahasiswa era empat titik nol. Saya laporkan hasil diskusi kelas tersebut:
Pertama; Panggaletek. Orang bulu baji itu adalah orang panggaletek, kata seorang mahasiswa. Menurutnya orang panggaletek itu suka mengganggu, suka usil. Apakah ia jahat? “Belum tentu ia jahat, Pak. Hanya saja perangainya membuat orang terganggu.”
Kedua; Cingkahak. Agak dekat dengan makna panggaletek. Namun, tabiat ini sabaleh-duobaleh (11-12) dengan panggaletek. Setidaknya, cingkahak berada pada angka sabaleh. “Hanya saja, cingkahak ini sepertinya akumulasi perangai dan tabiat buruk, Pak,” kata mahasiswa.
Ketiga; Kurang Aja. ”Ya, orang babulu baji itu agak mulai pada tahap kurang ajar, Pak!” kata seorang mahasiswa. Apa arti kurang aja dalam kebudayaan Minangkabau?
Setelah sejaman debat bergalau, mahasiswa sepakat bahwa cingkahak semakna dengan kurang aja dalam arti kurang adab dan kurang sopan santun. “Bukan karena tidak tahu adab, Pak. Cuma sedikit saja adab yang terpakai dalam dirinya.” Yang lain menimpali, “Betul, Pak. Orang kurang ajar itu memang banyak orang yang tahu, lagi berilmu, namun seperti tak berbekas ilmunya dalam perangainya.”
Keempat, selain ketiga istilah di atas muncul beberapa idiom lain akibat usaha untuk mencari makna dan ciri-ciri orang bulu baji. Di antaranya; mantiko langek, cadiak buruak, kalera bacak, tambiluak, jinaha, bargad (baruak gadang alias beruk besar), indak babanak, tidak berakal, babanak ka ampu kaki, cipeh-ongeh congeh, aka kurang muncuang cipeh dan lain-lain.
Intinya, urang babulu baji itu, jajok (benci) saja orang melihatnya. Apabila seseorang sudah dibenci karena perangainya, maka senyum, tertawa, gaya jalan, model rambutnya dan segenap kakobeh-nya terlihat menjijikkan.
Baiklah.
Lalu apa pelajarannya?
Poin saya, justru berangkat dari poin keempat di atas. Ternyata, meskipun bulu baji tak menemukan satu jawaban yang pasti, tetapi sepertinya ada kesepakatan bahwa bulu baji terkait dengan sifat, tabiat dan kurenah buruk orang-orang dalam perspektif kebudayaan Minangkabau.
Temuan ini penting, bahwa perisa makna bulu baji ternyata masih dapat dikenali dengan cepat (fast screening) oleh generasi milenial. Artinya, istilah-istilah klasik ini masih mungkin digunakan untuk memberi tanda atau cap moral terhadap orang berperangai buruk.
Andaikan kuliah ini dapat disebut sebagai salah satu bentuk aplikasi pendidikan karakter berbasis kearifan lokal, maka saya kira saya sudah mengaplikasikannya.
Setahu saya, dulu sewaktu masih hidup dalam suasana kampung, begitulah cara orang mengajarkan moralitas dan kebudayaan kepada anak-anak muda.
Terakhir, istilah tersebut agaknya masih relevan untuk diviralkan, tentu saja agar orang-orang terhindar dari tabiat dan kurenah buruk dengan istilah dan ciri-ciri sebagai mana tersebut di atas. Jika tidak ingin disebut Babulu Baji.*
*Penulis, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol, Padang. Email: muhammadnasir@uinib.ac.id
*