Bonding Social Capital – Pandemi virus Covid-19 sedang merajalela dalam kehidupan masyarakat dunia dan khususnya di Indonesia. Berbagai dampak dirasakan akibat pandemi Covid-19. Mulai dari terganggunya ketahanan kesehatan masyarakat, ambruknya stabilitas ekonomi. Dan terjadinya ancaman krisis pangan yang mengancam ketahanan pangan dunia sebagaimana diungkapkan Organisasi Pangan Dunia (Food Agriculture Organization/FAO).
Untuk mengatasi pandemi Covid-19 banyak negara di dunia mengeluarkan kebijakan lockdown atau penguncian wilayah. Berbeda dengan pemerintah Indonesia yang memutuskan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tujuan PSBB untuk memastikan masih dapat berjalannya aktivitas masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pokok.
Kedua kebijakan tersebut tentunya secara tidak langsung telah mengganggu tatanan normal dalam menjalankan aktivitas sosial ekonomi. Ujungnya dapat mengganggu ketahanan pangan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyatakan, pencirian dari ketahanan pangan dapat terlihat dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Tentunya pencirian tersebut pada masa pandemi Covid-19 akan sulit terwujud di Indonesia, jika:
Pertama, ekonomi negara berada dalam kondisi yang tidak sehat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I – 2020, yang tertekan di level 2,97 persen dan perekonomian Indonesia hanya tumbuh 0,4 persen hingga akhir tahun.
Kedua, banyaknya UMKM yang terganggu proses produksinya.
Sekitar 96 persen UMKM telah merasakan gangguan itu. Bahkan sampai gulung tikar dan ini mengganggu dalam hal perputaran roda ekonomi masyarakat.
Tiga, banyaknya terjadi pemutusan hubungan kerja yang berdampak pada kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarga.
Empat, terganggunya aktivitas usaha tani tanaman pangan dan hortikultura.
Gangguan itu terjadi karena kebijakan pembatasan aktivitas keluar luar rumah, sehingga banyak komoditi pertanian yang dibudidayakan tidak terawat dengan maksimal.
Selain empat poin di atas, masih banyak lagi estimasi variable x dan variabel antara yang dapat mengganggu terwujudnya ketahanan pangan masyarakat di Indonesia.
Baca juga: Koperasi MDM Gelar Pasar Tani Salingka Kampus
Ketahanan pangan pada kenyataannya berbanding lurus dengan ketahanan nasional. Pada saat ketahanan pangan sebuah negara terganggu, maka tidak menutup kemungkinan terganggu juga ketahanan nasional negaranya.
Sebagai sebuah ancaman yang sangat membahayakan, tentunya dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 mesti dicarikan solusinya dari segala sudut pandang keilmuan.
Solusi Ketahanan Pangan
Berangkat dari masalah yang sedang dialami masyarakat, penulis mencoba mencarikan solusinya dari sisi bidang ilmu Sosiologi Pertanian yang dimanfaatkan dalam aktivitas pembangunan pertanian untuk mewujudkan ketahanan pangan.
Dalam mengatasi permasalahan pandemi Covid-19 yang berdampak pada ketahanan pangan, tidak selalu diselesaikan dengan pendekatan modal materi. Ada modal lainnya yang dapat dimanfaatkan yaitu modal sosial (social capital).
Seperti yang diungkapkan Jhon Friedman tahun 1987 bahwa modal sosial yang dimiliki masyarakat dapat membantu dalam mencapai tujuan pembangunan. Dan tentunya juga dapat dimanfaatkan dalam pembangunan pertanian untuk mewujudkan ketahanan pangan di masa pandemi Covid-19.
Salah satu bentuk modal sosial yang ditemukan dalam kehidupan masyarakat petani adalah jaringan sosial pada dimensi bonding social capital (BSC).
Menurut beberapa pakar seperti Woolcock dan Egam & Rengkung mengungkapkan, masyarakat yang hidup dalam kelompok bonding social capital umumnya berinteraksi secara intensif dan saling mendukung.
Bonding social capital merujuk kepada hubungan kerjasama dan saling percaya antara anggota sebuah jejaring, yang memiliki kesamaan sosio-demografis.
Modal sosial dalam bentuk bonding social capital dalam kehidupan kemasyarakatan dapat berupa:
Pertama, ikatan pertalian darah, seperti hubungan kekerabatan dalam keluarga inti, hubungan kekerabatan setali darah.
Kedua, ikatan pertalian bukan sedarah, seperti hubungan sesama suku, satu kampung, dan persahabatan.
Bentuk-bentuk ikatan tersebut dapat membangun jaringan sosial yang kuat dalam menjalankan kehidupan kemasyarakatan.
Melalui kekuatan bonding social capital yang dimiliki oleh masyarakat, khususnya masyarakat pertanian, permasalahan dalam menjalankan usaha tani, pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari, dapat mereka atasi dengan cara saling membantu dan saling bahu-membahu.
Pada akhirnya, ketakutan akan ancaman terjadinya krisis pangan yang disebabkan pandemi Covid-19 dapat teratasi dengan pendekatan ini.
Tentunya, tidak hanya menyandarkan pada kekuatan bonding social capital yang dimiliki oleh masyarakat pertanian. Perlu kolaborasi bentuk modal sosial lainnya seperti bridging social capital dan linking social capital sebagai pendukung dan penguatnya dalam pengimplementasian tindakan nyata menghadapi ancaman krisis pangan pada masa pandemi Covid-19.**
Penulis, Dr. Muhamad Reza, M.Si., Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat; Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat; email: rezaumsb@gmail.com
Gambar fitur oleh Martin Winkler dari Pixabay