bakaba.co – Para saudagar dan ‘urang awak’ di kota Bukittinggi pernah memiliki kebanggaan ketika berhasil mendirikan sebuah bank. Bank Nasional, demikian nama bank itu, ditegakkan tahun 27 Desember 1930.
Bank Nasional berjaya di masa ‘bagolak’, dan justru runtuh di zaman merdeka. Bank ini hanya bertahan 60 tahun. Hidupnya berakhir tahun 1990-an.
“Inilah salah satu ‘dosa’ Hasan Basri Durin, yang merestui pengambil-alihan Bank Nasional oleh Group Bakrie. Saya baca penilaian itu di sebuah surat pembaca di salah satu situs internet urang awak,” tulis Suryadi Sunuri, dosen dan peneliti di Universitas Leiden, Belanda, dalam blognya dikutip bakaba.co
Saksi bisu Bank Nasional pernah ada di Bukittinggi, sekarang, tidak lebih dari sosok bangunan yang terletak di kampung cina. Bangunan yang sekarang dipakai perguruan tinggi swasta itu, semakin menghapus memori tentang gigihnya perjuangan generasi terdahulu.
Sang Perintis
Kehadiran Bank yang dirintis Anwar Sutan Saidi, pengusaha putra Sungaipua, Agam. Semua berawal dari langkah Anwar Saidi yang menjalin hubungan dengan Dr. Soetomo, pendiri Maskapai Dagang Indonesia dan Bank Nasional Indonesia di Surabaya.
Sebagaimana ditulis Suryadi Sunuri, tujuan didirikannya bank di Bukittinggi untuk memajukan perekonomian rakyat yang tertindas di bawah penjajahan Belanda. Anwar Saidi berinisiatif menemui dan belajar kepada Dr. Soetomo mengenai seluk-beluk dunia perbankan.
Baca juga: Azhari, sang Doktorandus yang Menolak Tanda Jasa
Setelah paham cara mendirikan lembaga keuangan, Anwar menghubungi para saudagar anggota H.S.I. (Himpunan Saudagar Indonesia) di Bukittinggi. Anwar memaparkan gagasan untuk mendirikan bank seperti yang sudah dilakukan Dr. Soetomo di Jawa.
Ide Anwar direspon H.S.I dan dibentuk Panitia Sementara. Ada 10 orang pengusaha dan tokoh Bukittinggi berhimpun di panitia: H. Mohd. Jatim, M. Dt. Mangulak Basa, H. Sjamsuddin, H. Mohd. Thaher, H.M.S. Sulaiman, Djamin Tuanku Mudo, H. Sjarkawi Chalidi, Rasjid St. Tumanggung, Malin Sulaiman dan Anwar Sutan Saidi.
Sebagai inisiator, Anwar Saidi mengusulkan agar semua anggota panitia sementara langsung menjadi pendiri bank. Setiap anggota menyetor modal Rp. 5,000,- dengan hitungan akan terkumpul modal Rp. 50,000,- .Tidak semua anggota sanggup dengan rencana patungan. Pada waktu itu, modal bank sebesar itu masih kecil dibanding modal milik bangsa asing, yang punya modal ratusan ribu dan jutaan rupiah.
Akhirnya muncul opsi baru untuk mengumpulkan modal dengan cara mendirikan Abuan Saudagar. Dan dibentuk pengurusnya: 5 orang dari kalangan Panitia 10, termasuk Anwar yang menjadi sekretaris. Buyung St. Burhaman, salah seorang komisaris yang bergabung belakangan dalam format Abuan Saudagar.
Akhirnya bank yang dicita-citakan terbentuk, diberi nama Bank Nasional, mirip dengan bank yang didirikan Dr. Soetomo di Jawa. Bank milik urang awak itu resmi berdiri tanggal 27 Desember 1930 di Bukittinggi.
Selain direstui Dr. Soetomo, bahkan Bung Hatta ketika kembali dari pembuangan di Banda Neira, bersedia mendidik tiga kader Bank ini, yaitu Munir, Bachtul Nazar, dan Damanoeri.
Bisnis Tradisional
Gagasan mendirikan bank di Bukittinggi, saat dijajah Belanda itu, muncul dari pemikiran para pebisnis yang lebih modern. Sebab, pada saudagar Minang tidak menggangap bank sesuatu yang penting. Sebagai pedagang tidak lumrah berurusan dengan bank, maupun asuransi. Sistem keuangan yang dianut masih tradisional. Di mana uang hasil usaha disimpan dalam bentuk emas, atau menyimpan uang di peti atau karung. Untuk mengamankannya diletakkan di kedai atau di rumah.
Anwar Sutan Saidi, putra Sungaipua yang lahir 19 April 1910, termasuk saudagar yang berpikiran terbuka dan maju. Pendidikan formalnya hanya tamat SR 5 tahun. Waktu memprakarsai pendirian Bank, usianya baru 20 tahun.
Menurut kisah yang dituliskan dalam buku ‘HUT ke-40 Bank Nasional’, di bawah kendali Anwar Sutan Saidi bank terlihat mengalami kemajuan. Ketika Perang Dunia ke-2 meletus, situasi guncang. Jepang menyerbu Hindia Belanda, termasuk Bukittinggi.
Kemudia Bank inipun terancam karena inflasi di zaman Jepang. Modalnya coba diselamatkan dengan dibelikan ke emas dan benda tetap seperti bangunan dan tanah. Ketika inflasi melambung, banyak bank swasta gulung tikar. Bank Nasional terselamatkan dengan mengalihkan asset sebelumnya.
Bank Nasional kembali dibenahi setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Figur yang tampil tetap Anwar Sutan Saidi, dibantu Dt. Pamuncak. Tahun 1951 bank sudah beroperasi kembali. Neraca keuangan bank per Desember 1957 cukup baik, kurang lebih Rp 66 juta.
Jatuh, Bangun, dan Tersungkur
Suasana politik dan ekonomi di Sumatera Barat kembali tidak stabil ketika meletus peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Bank juga mengalami dampak PRRI sehingga tidak beroperasi penuh.
Anwar Sutan Saidi kemudian menjadi anggota MPRS. Bank Nasional berjalan dalam situasi ekonomi politik yang tidak stabil. Dengan berbagai perubahan situasi dan pemimpin –setelah Anwar Sutan Saidi meninggal Juni 1976– Bank Nasional berkembang dengan membuka cabang di berbagai kota di Sumbar.
Tahun 1987 Indonesia diguncang krisis moneter yang sangat hebat. Hampir semua bank kena pukul keras. Bank Nasional termasuk kena imbas. Pada akhir 1990-an, ketika Sumbar dipimpin Gubernur Hasan Basri Durin, aset Bank Nasional diambil alih oleh Grup Bakrie. Namanya berubah menjadi Bank Nusa Nasional. Nama itu campuran antara Bank Nusa milik Bakrie Brother dan Bank Nasional milik saudagar ‘urang awak’ di Bukittinggi. Tidak berapa tahun kemudian, Bank Nusa Nasional juga collaps, bangkrut. Maka habislah…#
» asra f. sabri