Arah Baru Kelompok Islam Politik di Indonesia

redaksi bakaba

Artinya, daya kritis kelompok islam politik mampu menjadi tandingan bagi parlemen dalam mengarahkan kebijakan terhadap upaya ideologisasi negara

politik umat islam Image by succo from Pixabay
Image by succo from Pixabay
Irwan, S.H,I.,M.H
Irwan, S.H,I., M.H

INTENSITAS dinamika politik umat Islam di Indonesia di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo terbilang cukup tinggi, melebihi rezim Soeharto pada tahun-tahun 74 dan 80an. Tingginya akselerasi politik umat Islam ini tentu bukan tanpa alasan, sekalipun hal itu terjadi pada era reformasi yang meniscayakan kebebasan dan kemerdekaan politik yang lebih leluasa dibandingkan era politik orde baru.

Perkembangan dinamika politik ternyata tidak monolitik dan satu arah. Dukungan suasana reformis yang menggejala di seluruh lini kehidupan masyarakat vis a vis kebebasan yang hampir-hampir tidak terkelola oleh negara semakin meningkatkan eskalasi politik masyarakat atas nama kebebasan demokrasi.

Institusionalisasi aspirasi politik masyarakat melalui partai politik berlangsung, dengan pembatasan ruang gerak masyarakat sipil pada organisasi-organisasi politik nonpartisan. Ditambah lagi dengan semakin kuatnya kecenderungan para alumni reformasi untuk menjadi bagian dari istana. Arah baru pergerakan politik umat Islam semakin mengkristal dalam kelompok-kelompok keagamaan.

Ketegangan kelompok propemerintah yang didukung sebagian besar alumni reformis dengan kelompok reformis baru yang mengusung gagasan demokratisasi seakan-akan memperlihatkan kecenderungan baru hubungan politik umat Islam dengan negara. Hal ini semakin diperkuat dengan kegagalan partai politik bersimbol Islam mengusung aspirasi kelompok umat Islam di parlemen.

Kekalahan Prabowo Subianto –dengan temuan kecurangan pemilu yang luar biasa– serta bergabungnya Prabowo Subianto dengan rezim baru paska pemilu, semakin menegaskan bentuk hubungan kekuasaan dengan politik umat Islam yang renggang. Seakan-akan diselip di tikungan kekuasaan, umat Islam dengan diam-diam “marah” melihat kelemahan Prabowo Subianto.

Isu radikalisme Islam, menteri agama yang diserahkan kepada militer, buzzer politik yang berkeliaran bebas menciptakan ketidak-harmonisan informasi, sertifikasi ulama, pelarangan shalat berjamaah di masa pandemi Covid-19, pembebasan tahanan kriminal tanpa pertimbangan matang, komunisme dan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) semakin membuktikan keinginan politik umat Islam berhadapan dengan negara.

Ketegangan antarkelompok Islam dengan negara sudah seperti api dalam sekam. Hampir-hampir tidak adalagi apresiasi kelompok politik Islam terhadap Presiden. Sikap ketidaktegasan presiden, berkembangnya isu sekitar peran penting orang-orang dekat istana dengan kebijakan penggunaan uang negara ratusan triliun rupiah tanpa mampu dikontrol oleh hukum, dan kinerja menteri yang tidak produktif. Semua itu semakin mempertegas sikap ketidakpercayaan kelompok politik umat Islam terhadap kemampuan presiden dalam mengurus negara.

Baca juga: [1] Konflik Islam dan Negara

Semenjak bulan Maret sampai Juli 2020, kualitas negara dalam mengelola ekonomi semakin rendah. Kehidupan masyarakat semakin sulit, melalui kehadiran negara dengan program bantuan cuma-cuma tanpa mengambil kebijakan strategis menciptakan pertumbuhan ekonomi yang meyakinkan dan menyelamatkan iklim ekonomi menjadi lebih sehat. Tidak pelak telah menempatkan posisi negara dalam pandangan kelompok politik Islam berada di ambang kehancuran.

Pengajuan RUU HIP oleh DPR sepintas terlihat mampu mengalihkan tanggapan politik kelompok Islam, namun tidak lantas bebas dari kecaman dan kritik luar biasa yang semakin mengristalkan perlawanan politik kelompok Islam. Sekali lagi, kelompok politik Islam melihat kuatnya kecenderungan negara untuk berseberangan dengan kepentingan Islam secara holistik di Indonesia.

Mitos politik demokratis era reformasi yang diperlihatkan Presiden Joko Widodo sepertinya gagal menciptakan trust bagi kepentingan kelompok islam politik. Apalagi jika menggunakan jargon-jargon wong cilik dan revolusi mental yang selama ini cukup ampuh menciptakan simpatik politik dari bagian terbesar kelompok umat Islam yang terpinggirkan secara ekonomi.

Tekanan yang dilakukan oleh negara, baik secara psikis maupun psikologis, apakah dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan maupun aksi-aksi intelijen semakin menimbulkan problem hubungan yang tidak harmonis antara negara dengan kelompok Islam politik.

Penguatan dan pembasisan politik semakin mengerucut. Aksi-aksi politik kelompok Islam semakin tersusun secara sistematis, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah. Penguatan masyarakat sipil oleh kelompok Islam melalui tema NKRI semakin memperlihatkan efektifitasnya untuk melawan rezim. Penolakan terhadap RUU HIP menunjukkan bagaimana kuatnya efektifitas pembentukan masyarakat sipil kelompok Islam di setiap daerah di seluruh Indonesia.

Kelompok ini tidak lagi menyerang Pancasila dan pemerintah, mereka sudah lebih fokus kepada kritik terhadap isi dan substansi dari RUU itu sendiri serta ideologi para penggagasnya. Artinya, daya kritis kelompok islam politik mampu menjadi tandingan bagi parlemen dalam mengarahkan kebijakan terhadap upaya ideologisasi negara dengan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila. Dan terbukti, parlemen tidak mampu menghadirkan tafsiran yang benar sebagaimana kritikan kelompok ini. Kegagalan itu cukup kentara terlihat dari upaya penggeseran RUU HIP menjadi RUU BPIP.

Penggunaan jalur demokrasi ala barat, baik dalam bentuk demonstrasi, pembasisan politik masyarakat sipil, serta penggunaan tema-tema NKRI dan kebangsaan, dengan sedikit memoles isu Islam menjadi lebih Indonesia, cukup efektif mengritik kecenderungan dominasi dan hegemoni negara atas seluruh lini kehidupan masyarakat. Seperti rezim Orde Baru, kebijakan politik Presiden Joko Widodo mengarah kepada usaha menciptakan kehidupan masyarakat yang monolitik.

Dari dua fenomena politik yang diperlihatkan oleh kelompok Islam politik, menyerang parlemen yang salah kaprah dan menciptakan kekuatan masyarakat sipil “Islam” di setiap daerah untuk mencegah politik negara yang hegemonik, cukup berhasil membuktikan kecerdasan politik kelompok Islam untuk bermain dalam konteks politik nasional yang lebih inklusif dan nasionalis. Perubahan strategi gagasan ideologi Islami dalam wacana “perlawanan” terhadap negara semakin menguat dan mendapatkan tempat di lapisan masyarakat sipil. Tentu, pergeseran arah ini sebenarnya cukup menggembirakan, ketika kelompok-kelompok yang selama ini mengusung reformasi telah menjadi bagian dari istana dan menjadi corong dari kekuasaan.

Penulis, Advokat & Peneliti di PUSAT KAJIAN PORTAL BANGSA
Image by succo from Pixabay

Next Post

Gagal, Dua Bacawako Bukittinggi Jalur Nonpartai

Kewajiban menambah syarat KTP dan surat dukungan untuk verifikasi tahap kedua, sampai batas waktu yang ditetapkan tidak bisa dipenuhi. KPU Kota Bukittinggi memutuskan mencoret kedua pasang Bacawako Bukittinggi jalur perseorangan, nonpartai: Martias Tanjung - Taufik Dt. Laweh dan M. Fadhli - Yon Afrizal.
2 Pasang bacalon nonpartai pilkada bukittinggi, foto ist