PADA abad ke-6 Masehi bangsa India yang beragama Budha datang dan memasuki pedalaman pulau Sumatra bagian tengah. Mereka datang dengan jumlah besar, menduduki tempat yang mereka maui. Tidak ada kekuatan yang mampu menghalangi. Bangsa India memilih pusat kegiatannya di Muara Takus, di hulu sungai Kampar.
Abad ke-7 berdiri kerajaan Budha: Sriwijaya. Banyak peninggalan, situs, prasasti, arca atau biara sebagai tempat pemujaan bangsa India. Prasati abad ke-7 M berbahasa Melayu Tua atau berbahasa Sanskerta atau bercampur keduanya. Di antaranya ialah prasasti Kedukan Bukit, Telaga Batu, Talang Tua, Kalianda, Karang Brahi, Pasemah dan Kota Kapur.
Muara Takus adalah pusat kerajaan yang dibentuk bangsa India. Banyak bukti bahwa Muara Takus adalah pusat suatu kerajaan besar. Juga banyak ditemukan arca atau biara tempat penyembahan seperti di Barumun, Panai, Sirumande, Galugur, Taruang Taruang. Candi Borobudur adalah candi Budha Sriwijaya.
Prasasti Kota Kapur di Bangka menjelaskan tentang diberangkatkan suatu ekspedisi ke Jawa untuk mengamankan pemberontakan.
Muara Takus sebagai pusat kerajaan Sriwijaya ada pertanda: dua kali setahun mata hari tinggi di puncak kepala, menciptakan bayang-bayang menjadi bulat. Pertanda itu menjelaskan: pusat Sriwijaya itu berada di daerah khatulistiwa.
Di Muara Takus terdapat Candi Budha. Candi itu tidak diserang atau dikalahkan oleh pasukan lain, tapi ditinggalkan karena penghuninya tidak memerlukannya lagi. Mereka telah memasuki Islam. Candi itu lama tertimbun, karena banjir sungai yang lewat dekatnya. Candi itu muncul dari permukaan tanah, hanya bagian atasnya saja. Candi itu telah rusak dimakan alam.
Sewaktu dilakukan perbaikan terlihat candi itu dibangun dari tanah liat yang telah dikeraskan. Di dalamnya banyak ditemukan lempengan emas tipis seperti kertas. Pekerja senang memahatnya karena mendapat penghasilan tambahan dari emas pemahatan candi itu.
Selain Muara Takus, Palembang, Kalimantan Barat, Bangkok, Jambi mengklaim sebagai ibu negara Sriwijaya. Daerah-daerah tersebut kurang memenuhi persyaratan sebagai pusat kerajaan Sriwijaya. Di negeri itu tidak pernah matahari tegak tepat di puncak kepala, yang membuat bayang bayang bulat. Hanya dua daerah yang memenuhi syarat sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya yaitu Muaro Takus dan Pontianak.
Prasasti Talang Tuo di Riau dan prasasti Muaro Jambi di Jambi dan Prasati Kedukan Bukit di Palembang menyimpulkan sebagai berikut:
Dapunta Hyang berangkat dari Minanga membawa tentara dua laksa.
Dan 200 peti dengan perahu. 1312 tentara berjalan di darat. Berangkat dari suatu tempat yang bernama Minanga ke suatu tempat dan membuat kota. Kerajaan Minanga memperoleh Kemenangan. Perjalanannya berhasil seluruh negeri memperoleh kemakmuran.
Kalimat ini menginformasikan; Dapunta Hyang raja Sriwijaya berangkat dari Minanga, pusat atau ibu negara Sriwijaya. Dapunta Hyang ialah Raja Sriwijaya, bukan bangsa Tamil atau Raja Pariangan. Dapunta berarti Yang dipertuan atau Maharaja dalam bahasa Palawa rumpun bahasa Tamil.
Ada pihak lain menerjemahkan Prasasti Talang Tuo tersebut bukan berarti Dapunta Hyang tetapi Yang Dipertuan Hyang Datok Sriwijaya yang berangkat dari Minanga.
Kondisi Pariangan
Pada tahun 603 M, raja Pariangan Sri Jaya Naga mengirim beberapa orang keluarganya ke Dharmasraya dan Jambi untuk memimpin kerajaan di sana.
Tahun 697 M Lokitawarman dikirim untuk memimpin kerajaan Muaro Sabak. Indrawarman, adik Lokitawarman memimpin kerajaan Pariangan antara tahun 715 sampai tahun 738 Masehi.
Pada tahun 709 M Lokitawarman menerima kedatangan 35 kapal, armada dagang Islam yang dikirim Walid bin Abdul Malik dari Dinasti Umayyah. Itulah armada dagang terbesar pertama yang diterimanya. Lokitawarman dianjurkan masuk agama Islam. Lokitawarman menganut Islam dan meyakinkan Indrawarman atas kebenaran Islam.
Ilmu pertama dan utama yang dipelajari Indrawarman ialah ilmu berhitung sistem desimal dan mencatat dengan tulisan Arab. Cara mencatat memakai tulisan Arab jauh lebih mudah dan lebih sederhana dari ilmu tulis baca orang Melayu dan yang diajarkan bangsa Tamil dan India.
Dengan masuk Islamnya Indrawarman keluarga kerajaan yang beragama Budha berontak. Pada tahun 738 Masehi Indrawarman mati terbunuh. Keluarga yang beragama Islam melakukan perlawanan, akhirnya kaum pemberontak yang beragama Budha terusir dari Pariangan. Mereka menyingkir ke Pulau Punjung/Sungai Lansek. Itulah cikal bakal berdirinya Kerajaan Dharmasraya.
Semenjak itu, awal abad ke-8, penduduk Pariangan dan sekitarnya memeluk Islam. Agama Islam menyebar memasuki pelosok-pelosok wilayah Triarga tiga gunung secara simultan dan diam-diam.
Tambo
Dalam tambo Minangkabau juga ditemukan; Dapunta Hyang adalah Marajo Pariangan yang mengubah istilah Polis bahasa Yunani menjadi Nagari bahas Tamil. Keturunan Dapunta Hyang-lah yang menjadi raja-raja Pariangan selanjutnya.
Istilah Minanga Kambwa atau Minanga Tamwan adalah bahasa Palawa rumpun bahasa Tamil. Tamwan atau Kambwa berarti kapur dalam bahasa atau kosakata Melayu tua atau kampher dalam bahasa Inggris atau qafur dalam bahasa Arab yang artinya kapur barus. Sungai Kampar berarti sungai yang paling banyak dilalui pedagang kampher. Minanga Tamwan atau Minanga Kambwa artinya tempat berkumpulnya pedagang kampher atau juga pertemuan hulu sungai Kampar. Nama sekarang ialah Muara Takus.
Kampher adalah getah jenis kayu kapur betina yang setiap waktu tertentu menumpuk dalam batangnya. Kampher merupakan bahan pengawet mummi di Mesir dan bahan pengawet makanan yang tidak merusak yang banyak dipakai di daerah sekitar laut tengah.
Peninggalan
Di Muara Jambi sekitar 22 km dari kota Jambi arah ke hulu Batanghari mereka mendirikan pusat pemujaan Budha, di atas lahan 225 hektare, di perbatasan kerajaan Dharmasraya dahulunya. Pusat pemujaan itu terdiri dari:
8 kompleks candi.
60 buah talago rajo.
60 buah manopo yakni gundukan tanah bekas runtuhan bangunan.
Tanggo rajo.
Beberapa artefak.
Dalam kompleks candi terdapat 83 buah candi dari perunggu. Di antaranya ada yang berlapis emas seperti candi Prajna Paramita. Dikompleks percandian itu banyak ditemukan pecahan keramik berwarna cokelat atau kuning kemerahan yang buatannya halus, dibakar dengan temperature tinggi melebihi 1000 derjat selsius.
Di situs Muaro Jambi itu ditemukan juga manik-manik kaca bermacam warna dan sejumlah mata uang dari emas. Candi Budha Muara Jambi merupakan lanjutan dari Kerajaan Sriwijaya.
Di antara abad ke-3 dan abad ke-7 di Sumatra bagian tengah juga ditemukan prasasti berbahasa Melayu Tua, berbahasa Tamil dan berbahasa Sanskerta.
Prasasti di abad ke-6 M berbahasa melayu tua ditemukan di Taruang taruang (gunung Tuo), Talang Tuo, Galugua, Telaga Batu, Karang Brahi, Muaro Jambi (Muaro Tebo) dan Batu Kapur di Bangka.
Prasasti berbahasa Tamil ditemukan di irigasi Batu Bapahek, Batusangkar. Bahasa Sanskerta di Sumatra tengah merupakan pusat bahasanya di abad ke-7 dan 8 M.
Catatan I Tsing
Raja Cina I Tsing, dalam perjalanannya menuju India tahun 673 Masehi menulis catatan, pernah singgah di Mo lo yu dan menetap di sana selama 6 bulan untuk belajar bahasa Sanskerta. Mo lo yu tempatnya di tepi sungai yang dilayari dari Timur. Kemungkinan tempatnya adalah Muaro Takus atau Jambi atau Palembang. Waktu itu di Mo lo yu bahasa pengetahuan yang umum dipakai ialah bahasa Sanskerta.
Selain dari Mo lo yu, Dinasty I Tsing pada abad ke-7, telah mengenal Barus. Barus dinamakan kota P’o Lu Chi, ibu kota kerajaan Ho Lo Tan atau Pulasan. Pulasan adalah negeri penghasil kampher, kemenyan, cula badak dan gading.
Orang India menamakan daerah tengah pulau Sumatra ini dengan Kapura Dwipa (pulau penghasil kamper), Pepera Dwipa (pulau penghasil lada), Swarna Dwipa (pulau penghasil emas). Istilah yang paling banyak dipakai ialah Minanga Kambwa atau Minangkabau, dari bahasa Palawa rumpun bahasa Tamil.
Bangsa India memerintah penduduk pribumi dan banyak pengaruh budaya dan bahasa Sanskerta terhadap budaya dan bahasa pribumi yang bahasa Melayu.
Raja dan para pembesarnya dipanggil Datok. Kerajaan Sriwijaya disebut kerajaan Kedatukan. Raja Sriwijaya sendiri dipanggil dengan Yang Dipetuan Datuk Sriwijaya.
Dari situlah asalnya gelar Datuk untuk kepala kaum di Minangkabau dipakai sampai sekarang. Istilah Datuk menjadi istilah terhormat. Kepala kaum digelari Datuk, pengangkatannya dilakukan dengan suatu upacara.
Selain upacara melepas mayat, upacara mengangkat Datuk merupakan upacara helat terbesar di Minangkabau. Kebiasaan berjudi, menyabung ayam, mabuk-mabukan dengan meminum tuak, hiburan nyanyian, tarian dan permainan perempuan ikut memeriahkan acara itu. Acara bisa berlangsung tujuh hari tujuh malam. Acara ini disebut juga melewakan Pangulu.
Semenjak itu ada dua acara besar di Minangkabau yaitu acara melewakan Pangulu dan acara melepas mayat ke kubur.
Kaum raja-raja dan penduduknya bergabung dengan penduduk asli. Bangsa India yang datang mengikuti adat matrilineal penduduk asli. Hanya sebagian kecil yang tidak masuk agama Islam, dan menyingkir memasuki hutan belantara, mereka menamakan diri mereka orang benteng Minangkabau, dikenal dengan Orang Kubu. Identititas Orang Kubu diperlihatkan dengan cara hidup nomaden hutan, merotan, mengambil getah kayu, hasil hutan lainnya dan membawanya ke pinggir sungai untuk ditukar dengan kebutuhan mereka.
Penulis: Asbir Dt. Rajo Mangkuto
Editor: Asraferi Sabri
Gambar oleh Pexels dari Pixabay